ilustrasi autokorelasi
Pengertian
Autokorelasi dikenal sebagai korelasi serial, maksudnya adalah korelasi antara serial data atau antara data sebelum dengan data sesudahnya dalam data yang disusun berdasarkan urutan waktu (time series). Dalam data yang disusun secara cross section (bukan berdasarkan waktu), maka autokorelasi sebetulnya tidak relevan. Pada data yang disusun secara cross section, autokorelasi hanya indikasi dari keterkatitan antara satu subjek penelitian dengan penelitian lainnya. Atau dapat juga dikatakan sebagai kemiripian antara satu obsevasi dengan observasi lainnya. Secara matematika, autokorelasi dapat membaca pola yang berulang dari data. hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh waktu terhadap variabel respon. Contohnya pada perubahan harga emas, semakin lama cenderung naik, artinya terdapat pengaruh waktu atau autokorelasi pada perubahan harga emas.
Autokorelasi dibagi menjadi dua yaitu autokorelasi positif dan autokorelasi negatif. seperti kita ketahui bahwa masalah autokorelasi ini merupakan masalah error, maka kedua jenis autokorelasi di atas juga akan terkait masalah error. Autokorelasi positif adalah autokorelasi dimana error yang selalu diikuti oleh error yang sama tandanya. misalnya ketika satu periode sebelumnya positif maka error berikutnya akan positif. Sebaliknya autokorelasi negatif menyebabkan error akan diikuti oleh error yang berbeda tanda. misalnya ketika errornya positif maka akan diikuti oleh error negatif pada periode selanjutnya.
Dampak autokorelasi terhadap Model
Dalam analisis regresi yang menggunakan data time series atau data yang disusun berdasarkan runtun waktu, autokorelasi merupakan syarat utama model regresi agar tidak bias. Autokorelasi merupakan salah satu masalah error. error ini biasanya disebut dengan error terms dalam ekonometrik. Autokorelasi merupakan pelanggaran atas asumsi model OLS (Ordinary Least Square) dimana mensyaratkan bahwa tidak ada korelais antara error/residual. Lalu apa efeknya terhadap model jika asumsi ini dilanggar? Tentu yang paling terdampak adalah nilai standard error akan cenderung lebih kecil dari seharusnya. Memang kenapa jika standard error diestimasi lebih kecil? Tentu akan menyebabkan nilai t hitung membesar dari seharusnya. Pada gilirannya model menjadi overestimated.
Bagaimana Mendeteksi Autokorelasi?
Secara tradisional, cara untuk menguji ada tidaknya autokorelasi adalah melalui ukuran statistik yang disebut Durbin Watson. cara mengetahui nilai durbin watson dari model tertentu tidaklah susah. Dalam software statistik SPSS sudah tersedia menu untuk mengeluarkan angka durbin watson-nya. Nilai durbin watson tersebut tinggal dibandingkan dengan rentang norma durbin watson yang masih bisa ditolerasi. Uji lain yang tersedia adalah dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey. Hanya saja uji ini hanya tarsedia di software Eviews.
Selain cara di atas, sebetulnya terdapat cara yang sederhana untuk mendeteksi apakah terdapat autokorelasi atau tidak. Cara tersebut adalah dengan menggunakan grafik plot error atau residual. Caranya mudah, pertama kita running model regresi Y = a + b1X1 +b2X2… Kemudian diperoleh nilai residualnya. nilai tersebut kita buat plot dengan sumbu horizontal adalah waktu dan sumbu vertikal adalah nilai residual. Jika grafik tersebut membentuk pola tertentu maka artinya terdapat pola yang sistematis atau terdapat korelasi antara error. Hal ini menunjukkan adanya gejala autokorelasi yang harus ditanggulangi. Jika setiap angka error atau residual diikuti oleh residual pada periode berikutnya dengan tanda yang sama maka kemungkinan adanya autokorelasi positif.
Bagaimana mengatasi Autokorelasi?
Salah satu cara untuk mengatasi autokorelasi adalah dengan membuat model GLS (Generalized Linear Square). Prinsip dari model GLS adalah menghilangkan efek korelasi time series dengan cara mentrasformasi model menjadi model GLS. Model GLS adalah model dengan selisih antara data pada periode t dikurang periode t-1 yang dikalikan dengan nilai Rho. Nilai Rho dianggap sebagai representasi autokorelasi.